mari mencari kita mencari..

Minggu, 20 Juni 2010

Kami Menyabutnya "prihatin"

Ini adalah kisah kehidupan, kisah yang mengisahkan sebuah perjalanan hidup sebuah keluarga kecil yang diperbesar-besarkan. Membuktkan bahwa perkawinan bukan jaminan kebahagiaan. Ini adalah sayam saya yang selalu menunggu kebahagiaan datang, saya lahor di Jakarta sekitar 49 tahun yang lalu tanggal 13 Desember, disebuah gang kecil yang saya tahu daerahnya di sekitar mampang perapatan.

Saya terlahir dengan normal dan sehat saat itu, saat saya buka mata saya sudah memiliki 5 orang kakak, dan saya dilahirkan dlam keluarga yang idak terlalu menjanjikan saat itu, ayah saya adalah seorang manteri kesehatan, dan ibu saya hanyalah ibu rumah tangga biasa. Biarpun saya hidup dikeluarga ini banyak hal yang terasa kurang, saya hidup di kawasan pinggiran kota, kawasan yang tidak terlalu terkenal pedesaan, dan keras kehidupannya, semakin berjalannya waktu semakin bertambah saya, hingga total anak di keluarga kami ada 12 orang, kebutuhan keuarga saya semakin banyak saja, untung saja ayah saya adalah ayah yang hebat, dia selalu benting tulang bekerja membiayai kamu sekolah, membiayai kehidupan kami sehari-hari.

Kata orang-orang ayah saya adalah mantra yang hebatm seorang tabi handal dan hanya satu-satunya mantra di kisaran Jakarta pusat sampai Jakarta timur dan selatan, namanya sangat kesohor saat itu, ayah juga adalah orang yang hebat, karena beliau kenal dengan orang-orang hebat, dia bisa menghidupi kami ber-12 bahkan dengan ibu saya, ini adalah kebanggaan tersendiri bagi kami anak-anaknya, suatu hal yang sangat membuat kamu tersenyum saat kami membicarakannya saat ini, kami bangga sekali mencaritakan masa lalu kami kepada anak cucu kami saat ini.

Kehidupan yang ini, adalah kehidupan yang bukan generasi santai, biarpun kami membutuhkan banyak biaya, dan ayah saya cukup bisa membiayai kami, namun kami tidak mau terlalu membebani mereka dengan segala kebutuhan kesenangan kami, hal yang ingin kami beli kami beli dengan cara menabung, segala hal yang kami inginkan, dan kami rasa kami bisa membuatnya, kami akan membuatnya, kehidupan yang kami sebut dengan kehidupan “perihatin” ini mungkin awalnya sangat membebani kami, kami ingin ini, kami ingin itu, kami ingin seperti teman-teman kami yang memiliki segala hal yang diinginkan hanya dengan bermodalkan rengekan-rengekan dan wajah memelas kepada orang tua mereka, sedangkan kami, kemi tidak selalu seperti demikian, kami harus menunggu sampai ayah memiliki uang yang cukup, belum lagi bila saya memiliki sebuah barang, maka saudara-saudara saya yang lain pasti merasa ingin memilikinya juga.

Memang kehidupan yang sangat sulit, namun perihatin yang kami selalu kami lakukan ini sangat membantu kami, kami memiliki pemikiran dewasa, segala sesuatu yang kami lakukan harus berdasarkan jalan pemikiran bersama, dan musyawarah, pemikiran dewasa yang otomatis muncul dari dalam benak kami dengan sendirinya. Kami sering sekali berjualan untuk membeli sesuatu yang kami inginkan, dan penghasilannya cukup untuk kami jajan, dan lain-lain. Namun ketika kami tidak tahu apa yang harus kami beli, kami akan menabungkannya dan akan menggunakannya untuk membantu saudara kami yang lain yang kesulitan, atau membantu membiayai pendidikan kami.

Semua itu berlangsung dari waktu ke waktu, hari ke hari, dari minggu ke minggu sampai kami menyelesaikan pendidikan kami, sampai kami kerhja dan kami bisa membantu ibu kami membiayai adik-adik kami yang masih sekolah. Kebersamaan yang kami rasakan sangatlah indah, kami menghormati orang tua kami, orang tua kami memomong kami, mendidik kami dengan baik, saudara yang lebih tua selalu mengertikan yang lebih muda, yang lebih muda pun tetap menghorati yang lebih tua, selalu begitu sampai hari ini.

Sekarang kami sudah dewasa, ayah dan ibu sudah tidak terlihat sekuat dahulu, ayah sudah mulai sakit-sakitan, dan ibu pun demikian, kami semua mengumpulkan uang untuk membiayai kehidupan dua orang paling berarti dalam hidup kami tersebut, kami mengumpulkan uang tidak hanya untuk orang tua kami, untuk keluarga kami masing-masing juga, sekuat tenaga kami membanting tulang untuk membiayai hidup kami semua, orang-orang yang sangat berarti dalam hidup kami.

Namun waktu berkata lain, sekuat apapun kami akan berusaha, sehebat apapun kami bekerja dan sebanyak apapun hasil yang kami dapat untuk membiayai pengobatan ayah, kondisi ayah semakin lemah, ayah sering sekali keluar masuk rumah sakit, kondisi badan ayah semakin hari semakin lemah, namun kami sangat bangga kepadanya, beliau adalah otang yang sangat kuat, dokter selalu bilang kepada kami bahwa orang yang sudah memakai selang penafasan, mungkin waktu hidupnya tidak lama lagi, tapi ayah kuat sekali, beliau masih bisa berahan dalam beberapa tahun.

Namun semua itu akhirnya berakhir, ayah menghemuskan nafas terakhirnya juga, tugas beliau sudah selesai, beliau memberikan kami pelajaran tentang kehidupan, tentang hidup perihatin, dan kami pun berharap hal ini terjadi pula pada anak cucu kami, agar tetap terjalin sebuah keserasian dalam hidup, roda hidup yang tetap berputar tanpa kemalasan dan bersantai-santai, dan hingga saat ini, saat saya sedang perihatin, saya membawa seluruh keluarga saya menggunakan prinsip hidup yang pernah saya dan keluarga saya lakukan dahulu, bersama seorang komandan yang sangat hebat, menjajaki lautan ehidupan yang banyak rintangan, dengan bahtera rapuh namun tetap berlayar, saya ingin semua orang melaksanakan hal tersebut agar terjadi kedisiplinan dalam hidup bermasyarakat, dan berumah tangga, apabila semua itu terwujudkan, dan semua saudara-saudara saya pun melakukannya, dan terciptalah kehidupan selaras seperti apa yang kami pernah rasakan, ayah pasti tersenyum bangga kepada kami, generasi yang bukan generasi santai. Terimakasih ayah.


“Cerita ini adalah cerita ayah saya Jaya Sunjaya, cerita dari kehidupan keluarga alm Bp. Udju
Terimakasih ayah, kakek semoga kehidupan selaras dan perihatin ini akan berlanjut di kehidupan saya di masa depan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar